Kamis, 04 Maret 2010

Sebuah Tali Yang Tak Pernah Putus

Kisah Ini Patut Untuk Direnungkan, Sebagai Manuasia Kita Mesti Berbuat Kasih Kepada Sesama Kita, Mulai Hari Ini Jika anda Membaca Kisah Ini semoga Bisa Membawa Cara Pandang Anda Akan Cara Mulia Memperlakukan Orang Tua Kita Masing-Masing.
============================================================
Suatu ketika, ada seorang kakek yang harus tinggal dengan anaknya. Selain itu, tinggal pula menantu, dan anak mereka yang berusia 6 tahun. Tangan orangtua ini begitu rapuh, dan sering bergerak tak menentu. Penglihatannya buram, dan cara berjalannya pun ringkih. Keluarga itu biasa makan bersama di ruang makan. Namun, sang orangtua yang pikun ini sering mengacaukan segalanya. Tangannya yang bergetar dan mata yang rabun, membuatnya susah untuk menyantap makanan. Sendok dan garpu kerap jatuh ke bawah. Saat si kakek meraih gelas, segera saja susu itu tumpah membasahi taplak.

Anak dan menantunya pun menjadi gusar. Mereka merasa direpotkan dengan semua ini. “Kita harus lakukan sesuatu, ” ujar sang suami. “Aku sudah bosan membereskan semuanya untuk pak tua ini.” Lalu, kedua suami-istri ini pun membuatkan sebuah meja kecil di sudut ruangan. Disana, sang kakek akan duduk untuk makan sendirian, saat semuanya menyantap makanan. Karena sering memecahkan piring, keduanya juga memberikan mangkuk kayu untuk si kakek.

Sering, saat keluarga itu sibuk dengan makan malam mereka, terdengar isak sedih dari sudut ruangan. Ada airmata yang tampak mengalir dari gurat keriput si kakek. Namun, kata yang keluar dari suami-istri ini selalu omelan agar ia tak menjatuhkan makanan lagi. Anak mereka yang berusia 6 tahun memandangi semua dalam diam.

Suatu malam, sebelum tidur, sang ayah memperhatikan anaknya yang sedang memainkan mainan kayu. Dengan lembut ditanyalah anak itu. “Kamu sedang membuat apa?” Anaknya menjawab, “Aku sedang membuat meja kayu buat ayah dan ibu untuk makan saatku besar nanti. Nanti, akan kuletakkan di sudut itu, dekat tempat kakek biasa makan.” Anak itu tersenyum dan melanjutkan pekerjaannya.

Jawaban itu membuat kedua orangtuanya begitu sedih dan terpukul. Mereka tak mampu berkata-kata lagi. Lalu, airmatapun mulai bergulir dari kedua pipi mereka. Walau tak ada kata-kata yang terucap, kedua orangtua ini mengerti, ada sesuatu yang harus diperbaiki. Malam itu, mereka menuntun tangan si kakek untuk kembali makan bersama di meja makan. Tak ada lagi omelan yang keluar saat ada piring yang jatuh, makanan yang tumpah atau taplak yang ternoda. Kini, mereka bisa makan bersama lagi di meja utama.

Anak-anak adalah persepsi dari kita. Mata mereka akan selalu mengamati, telinga mereka akan selalu menyimak, dan pikiran mereka akan selalu mencerna setiap hal yang kita lakukan. Mereka adalah peniru. Jika mereka melihat kita memperlakukan orang lain dengan sopan, hal itu pula yang akan dilakukan oleh mereka saat dewasa kelak. Orangtua yang bijak, akan selalu menyadari, setiap “bangunan jiwa” yang disusun, adalah pondasi yang kekal buat masa depan anak-anak.

Mari, susunlah bangunan itu dengan bijak. Untuk anak-anak kita, untuk masa depan kita, untuk semuanya. Sebab, untuk mereka lah kita akan selalu belajar, bahwa berbuat baik pada orang lain, adalah sama halnya dengan tabungan masa depan.

Senin, 01 Maret 2010

Takdir Tak Bisa Dirubah

Kisah iniadalah kisah sangat Mengharukan saya berharap manusia jangan mementingkan materi tetapi berusahalah melindungi dan memberi cinta kepada orang yang membutuhkannya apalagi itu adalah dara daging kita sendiri selamat membaca.
=======================================================================
....Aku ingat betul saat pertama kali menjadi seorang mahasiswi di negeri orang. Tepatnya di Kuala Lumpur, Malaysia. Saat itu aku tinggal dirumah orangtua asuh, Pak Syamsul dan Istrinya yang baik hati. Disebelah rumah Pak Syamsul, aku sering melihat gadis kecil tanpa tangan bermain girang bersama kedua orangtuanya. Dalam hati aku salut kepada pasangan orangtua tersebut. Mereka terlihat penuh cinta kasih dan sabar merawat anaknya yang cacat. "Mereka orangtua yang baik ya, pak?" ujarku.

"Ya, mereka sangat baik karena Allah menegur mereka," kata pak syamsul.

"Maksudnya?"
"Sini saya ceritakan," jelas bapak paruh baya itu.

Mereka umumnya sepasang suami isteri - seperti pasangan lain di kota-kota besar - meninggalkan anak-anak mereka untuk diasuh pembantu rumah tangga selama bekerja. Anak tunggal pasangan ini, perempuan berusia tiga setengah tahun, sendirian di rumah. Dia kerap dibiarkan pembantunya yang sibuk bekerja bermain di luar, tetapi pintu pagar tetap dikunci. Bermainlah dia di ayunan taman belakang rumah, atau memetik bunga dan lain-lain yang bisa dilakukan di halaman rumah.

Suatu hari dia melihat sebatang paku berkarat. Dia pun mencoret semen tempat mobil ayahnya diparkirkan, tetapi kerana lantainya terbuat dari marmer, coretannya tidak kelihatan.
Dicobanya pada mobil baru ayahnya. Ya, karena mobil itu bewarna gelap, coretannya tampak jelas. Lantas si kecil ini pun membuat coretan sesuai dengan kreativitasnya. Hari itu bapak dan ibunya hendak menggunakan mobil ke tempat kerja karena macet. Setelah penuh coretan yang
sebelah kanan dia beralih ke sebelah kiri mobil. Dibuatnya gambar ibu dan ayahnya, gambarnya sendiri, lukisan ayam, kucing dan sebagainya mengikuti imaginasinya. Kejadian itu berlangsung
tanpa disadari si pembantu.

Sepulang kerja petang itu, pasangan tersebut terkejut melihat mobil yang baru setahun dibeli dengan bayaran angsuran, menjadi rusak. Si bapak yang belum lagi masuk ke rumah pun
menjerit, "Kerjaan siapa ini?" Pembantu rumah yang tersentak dengan jeritan itu berlari keluar. Dia juga beristighfar. Mukanya merah padam ketakutan melihat wajah bengis tuannya. Sekali lagi diajukan pertanyaan keras kepadanya, dia terus mengatakan 'Tak tahu, Tuan!" Lalu si Nyonya rumah berkata, "Kamu dirumah sepanjang hari, apa saja yang kau lakukan?" hardiknya lagi. Si anak yang mendengar suara ayahnya, tiba-tiba berlari keluar dari kamarnya. Dengan penuh manja dia berkata "Ita yg membuat itu abah. Cantik kan," katanya sambil memeluk abahnya ingin bermanja seperti biasa

Si ayah yang hilang kesabaran mengambil sebuah bilah kayu hiasan ruang tamu yang ada di dekatnya. Lalu dengan membabi buta dipukulnya sang anak berkali-kali, tepat di telapak tangan si kecil. Ita yang tak mengerti apa-apa menangis kesakitan sekaligus ketakutan. Puas memukul telapak tangan, si ayah memukul pula punggung tangan anaknya. Si ibu cuma mendiamkan saja, seolah merestui dan merasa puas dengan hukuman yang dijatuhkan ke anak tunggalnya tersebut.

Pembantu rumah terbengong, tidak tahu harus berbuat apa. Si bapak seolah kesetanan memukul-mukul tangan kanan dan kemudian tangan kiri anaknya. Setelah kedua orangtua Ita masuk kedalam kamar, pembantu rumah tangga itu menggendong Ita, membawanya ke kamar. Dilihatnya telapak tangan dan belakang tangan si anak kecil luka dan berdarah.

Pembantu rumah kemudian memandikan Ita. Sambil menyiram air dia pun ikut menangis. Anak kecil itu juga terjerit-jerit menahan kepedihan saat luka-lukanya itu terkena air. Si pembantu rumah kemudian menidurkan anak kecil itu. Meski tahu Ita ditidurkan pembantu mereka, tak tergerak sedikitpun nurani kedua orangtua Ita untuk memeluk anaknya dan menidurkan Ita tepat disamping mereka.

Keesokan harinya, kedua belah tangan si anak bengkak. Pembantu rumah mengadu. "Oleskan obat saja!" jawab tuannya. Pulang dari kerja, dia tidak memperhatikan anaknya itu yang menghabiskan waktu di kamar pembantu.

Tiga hari berlalu, si ayah tidak pernah menjenguk anaknya sementara si ibu juga begitu tetapi setiap hari bertanya kepada pembantu rumah.

"Ita demam, bu " jawab pembantunya.

"Kasih minum obat," jawab si ibu datar. Sebelum si ibu masuk kamar tidur dia menjenguk kamar pembantunya. Saat dilihat anaknya Ita dalam pelukan pembantu rumah, dia menutup lg pintu kamar pembantunya.

Masuk hari keempat, pembantu rumah memberitahukan tuannya bahwa suhu badan Ita terlalu panas. "Sore nanti kita bawa ke klinik. Pukul 05.00 sudah siap, ya" kata majikannya itu.

Sampai saatnya si anak yang sudah lemah dibawa ke klinik. Dokter mengarahkan ia dirujuk ke rumah sakit ternama karena keadaannya sangat serius. Setelah seminggu di rawat inap, doktoe memanggil bapak dan ibu anak itu. "Tidak ada pilihan." katanya sembari mengusulkan agar kedua tangan anak itu dipotong karena luka yang terjadi sudah terlalu parah.

"Lukanya sudah bernanah, demi menyelamatkan nyawanya kedua tangannya perlu diamputasi dari siku ke bawah" kata doktor. Si bapak dan ibu bagaikan terkena halilintar mendengar kata-kata itu. Terasa dunia berhenti berputar, tapi apa yg dapat dikatakan. Si ibu menangis dan merangkul si anak. Dengan berat hati dan lelehan air mata isterinya, si bapak bergetar menanda-tangani surat persetujuan pembedahan.

Keluar dari bilik pembedahan, selepas obat bius yang disuntikkan habis, Ita menangis kesakitan. Dia heran melihatkedua tangannya berbalut kasa putih. Ditatapnya muka ayah dan ibunya. Kemudian ke wajah pembantu rumah. Dia mengerutkan dahi melihat mereka semua menangis. Dalam siksaan menahan sakit, Ita pun bersuara dalam linangan air mata. "Abah, Mama, Ita tidak akan melakukannya lagi. Ita tak mau abah pukul. Ita tak mau jahat. Ita sayang
ayah, sayang mama." katanya berulang kali membuatkan si ibu gagal menahan rasa sedihnya.

"Ita juga sayang Mbak Narti." katanya memandang wajah pembantu rumah, sekaligus membuatkan perempuan dari Surabaya itu menangis histeris.

"Abah, kembalikan tangan Ita. Untuk apa diambil, bah? Ita janji tidak akan mengulanginya lagi! Bagaimana caranya Ita mau makan nanti? bagaimana Ita mau bermain nanti? Ita janji tidak akan mencoret-coret mobil lagi," katanya berulang-ulang.

Serasa copot jantung si ibu mendengar kata-kata anaknya. Dia hanya menangis sekuat tenaga namun apa daya takdir sudah terjadi. Kedua orangtua Ita hanya menyesali perbuatannya.